TUGAS YANG TERLUPAKAN DAN PALING SULIT YAITU BERDAKWAH DAN ISTIQAMAH

Jumat, 23 Januari 2015

Kisah Pastor yang masuk Islam


Kisah akhir pastor di amrik yang gigih memurtadkan orangTAK ada yang perlu dicari Skip Estes muda dalam hidup, kecuali melangkah nyaman di jalan yang sudah terbentang mulus. Ia sudah punya apa yang diinginkan kebanyakan orang Amerika: kekayaan, usaha, keluarga bahagia, dan tampang yang boleh juga. Tambahan, ia punya kegiatan yang mulia: mengajak orang-orang kepada agama Kristen – kepada jalan Yesus Kristus.
Ya, disamping pebisnis alat-alat musik dan pemilik studio musik, stasiun radio dan TV lokal, iapreacher – di Indonesia lazim disebut pastor, yakni penyeru agama dalam Protestan.
Dengan semua anugrah itu, ia selalu tampak bergairah, gembira dan bersemangat. Juga ketika ayahandanya, seorang ordain minister [pendeta senior], bilang padanya: “Kita akan berbisnis dengan seseorang dari Kairo, Mesir.”
“Baik ayah,” jawab Skip.
“Dan dia ‘Moslem’,” kata ayahnya lagi.
“Hah? Aku tidak mau ayah! ‘Moslem’? Mereka kan teroris, tukang meculik orang, membajak. Mereka tak percaya Tuhan. Mereka itu mencium tanah lima kali sehari dan menyembah kotak hitam di gurun pasir,” cerocos Skip.
“Ah, kamu harus ketemu dia. Ini bisnis,” desak ayahnya.
Merasa tak kuasa melawan, ia masih mengajukan syarat: “Baik. Aku mau ketemu dia. Tapi akan kukristenkan dia!”
“Kamu lakukan apa yang menurutmu bagus ,” pungkas ayahnya.
****
Hari pertemuan pun tiba. Skip sengaja menemui ‘tamu Kairo’ itu sepulang dari gereja pada hari minggu, dengan pakaian kebaktian lengkap dan injil di tangan, ditemani istri.
Ketika melihat sang tamu, ia kaget campur heran. “Kok ‘Moslem’ begini?” pikirnya. Sebelumnya ia membayangkan akan bertemu pria bercambang-jenggot, baju panjang dan bersorban. Tapi yang dilihatnya jauh dari bayangan itu: Muhammad Abdurrahman, nama tamu itu, berpakaian biasa: kemeja dan celana panjang, wajah kelimis, tak ada bulu-bulu di wajahnya. Bahkan di kepala pun tak ada! Dia botak.

Setelah sedikit obrolan perkenalan, masuk ke obrolan bisnis. Lancar. Tapi Skip ingin lebih dari itu. Ia punya agenda lain: mengkristenkan si tamu.
“Apakah anda percaya Tuhan?” Skip langsung nembak.
“Ya,” jawab Muhammad.
“Maksud saya Tuhannya Ibrahim. Anda percaya nabi Ibrahim?” desak Skip.
“Ya.”
“Anda percaya nabi Daud, Musa?”
“Ya.”
Sialan, pikir Skip. Kok dia percaya Tuhan orang Kristen? Nabi-nabi orang Kristen? Apa dia sedang basa-basi? Tidak jujur?
“Apakah anda juga percaya Yesus? Dan kelahiran ajaibnya? Mukjizatnya menyembuhkan orang lumpuh dan bahkan menghidupkan orang mati?”
“Ya,” jawab Muhammad.
“Anda juga percaya injil?”
“Ya.”
Skip bingung, tapi juga senang. Kalau begitu tak akan sulit mengkristenkan dia, pikirnya. Segera ia pun mengabarkan injil padanya. Ayat demi ayat. Bab demi bab. Dan sang tamu mengangguk-ngangguk penuh pengertian.
Tentu mengubah agama orang tak bisa singkat; tak boleh terburu-buru. Ia lantas mengajak sang tamu tinggal di rumahnya. Muhammad menolak, tapi Skip mendesak, memohon. Muhammad pun setuju.
Di luar urusan bisnis, di obrolan beranda, dalam perjalanan, Skip selalu mendakwahkan Kristen kepada Muhammad, yang lebih banyak diam.  Hanya sesekali ia menimpali. Sampai satu titik, Skip mengajak Muhammad kepada Kristen. Kali ini Muhammad menjawab:
“Saya bersedia masuk agama anda,” katanya.
“Asal anda bisa membuktikan agama anda lebih benar dari agama saya,” tambahnya.
Skip berkerut kening: “Bung, agama bukan soal bukti. Agama soal keyakinan.”
“Di agama kami ada dua-duanya. Kami punya keyakinan, kami pun punya bukti-bukti,” jawab Muhammad.
Skip terdiam. Bagaimana membuktikan injil benar? Pikirnya.
***
Skip tak menyerah. Ia mengundang temannya, pendeta Katolik Peter Jacobs, ayahnya sendiri Edward Estes, dan istrinya,  untuk ikut mengabarkan kebenaran  injil kepada si tamu Mesir. Maka, saban senja, ‘pengajian’ pun digelar di rumah keluarga Estes dengan hanya satu jama’ah, yakni sang tamu, dan tiga ‘pendakwah’, yakni Skip sendiri, ayah Skip, dan si pendeta Katolik Peter Jacobs – plus istri Skip yang hadir lebih sebagai ‘saksi’.
Makin masuk ke  ‘pengajian’, masalah mulai timbul. Pengkhabaran yang disampaikan masing-masing penkhabar kepada si Muslim berbeda-beda dalam banyak hal. Sebabnya, mereka mendasarkan pada versi injilnya masing-masing. Ayahanda Skip menggunakan versi King James, Skip menggunakan versi American Standard, pendeta Katolik Peter Jacobs membawa versi lebih kuno, dan istri Skip menggunakan versi Jimmy Swaggart, yang lebih ditujukan kepada masyarakat modern Amerika.
Ketika Skip mebacakan satu ayat injil, ayahadanya menyergah: “Tidak begitu bunyinya menurut injil ini,” sambil membacakan ayat injil yang dia bawa.
Peter Jacobs pun mengoreksi: “Bukan begitu menurut injil yang sebenarnya. Ini saya bawa,” sambil membacakan ayat injil versinya.
Ini terjadi pada banyak topik. Jadinya, tanpa disadari, perbincangan dan pedebatan lebih banyak terjadi antara para pengkhabar itu, tentang ayat mana yang sah dan injil versi mana yang bisa dijadikan sandaran – sang jama’ah tunggal lebih sebagai penonton.
Di tengah kebingungan, Skip bertanya kepada si tamu Mesir: “Kalau kitab anda ada berapa versi?”
“Kitab kami tak ada versinya, karena hanya satu,” jawab Muhammad.
Semua pengkhabar terlihat agak terhenyak.
“Teksnya, susunan ayatnya, bahasanya, kalimatnya, titik-komanya, satu – dalam bahasa Arab,” tambah Muhammad.
“Kemana pun tuan-tuan pergi: Arab, Mesir, Turki, Pakistan, Indonesia – kemana saja – carilah al-Qur’an dan liat. Semua sama. “
“Memang ada terjemahan ke berbagai bahasa, tapi kami tidak menyebut terjemahan sebagai al-Qur’an,” kata Muhammad pula.
Setiap kali ‘pengajian’ usai, kebingungan lebih menyerang para pengkhabar injil, terutama tentang keabsahan kitab mereka masing-masing.
***
Skip makin penasaran kepada dua hal: Islam dan al-Qur’annya; serta asal-usul injil yang didakwahkannya terus menerus. Kini, tanpa sadar, ia lebih banyak menyelediki asal-usul injil sembari bertanya tentang al-Qur’an pada tamu Mesirnya, daripada mendakwahkan injil kepadanya.
Sampai suatu tahap, ia tersadar bahwa untuk hal-hal yang kurang dimengertinya dalam injil, ia mendapatkan penjelasan lebih lengkap dan jelas dari al-Qur’an. Misalnya, sementara ummat Kristen berkeyakinan bahwa Yesus itu anak Alllah, dalam injil tak ada satu ayat pun yang menjelaskan itu. Bahkan yang ada adalah perintah menyembah Tuhan yang satu.
Perjanjian Baru:
Markus 12:29: Tuhan adalah satu, dan engkau harus menyembahnya sepenuh jiwa
Perjanjian Lama:
Hozaiya, chapter 16:4: Engkau tak punya tuhan selain Aku. Dan selain aku tidak ada penyelamat.
Jesus saith unto Him, I am the Way the Truth and the life, no man cometh unto the Father but by Me.(Jhon 14:6).
Dia tak kunjung mengerti darimana asal muasalnya ketuhanan Yesus dan konsep Trinitas.
Dalam al-Qur’an, keterangan tentang Yesus [Nabi Isa] sangat jelas. Ia adalah utusan Tuhan yang lahir secara mukjizat, dan menyeru untuk beriman dan menyembah kepada Allah yang esa.
Bahkan nama bible [injil] pun tak ada dalam injil. Ia berasal dari bahasa Yunani biblios, yang artinya buku. Tapi al-Qur’an dengan jelas menyebutkan ummat yang menerima wahyu sebelum mereka, yakni Nasrani dan Yahudi, sebagai ahlul kitab.
Dan yang paling memusingkannya adalah konsep Trinitas. Satu yang tiga; tiga yang satu. Sudah pake logika apa pun tetap sulit. Bolak-balik ia berkonsultasi kepada Peter Jacobs minta saran bagaimana mendakwahkan Trinitas kepada si Muslim Mesir.
Pertama, si pendeta menyarankan pakai perumpamaan apel. Satu buah apel. Tapi dia terdiri dari tiga: kulit, isi dan biji. Tapi sambil di jalan pikirannya sendiri menyanggah: tapi biji apel kan tidak satu? Lagian biji apel, daging apel, dan kulit apel kan bukan apel? Jika Tuhan terdiri dari roh kudus, Bapak dan anak, berarti ketiga-tiganya bukan Tuhan. Ia pun urung menyampaikan perumpamaan Tuhan dan apel ini kepada Muhammad.
Lalu balik lagi ke si pendeta. Minta saran lain. Kali ini perumpamaannya adalah sebuah telur. Satu telur. Pada telur ada kulit, putih dan kuning.
Ah, itu kan tidak beda dengan perumpamaan apel tadi. Ga akan kena juga kepada Muhammad. Balik lagi. Lantas menerima perumpaan satu keluarga: ada bapak, ibu, anak. Tapi satu keluarga. Tak kena juga. Logikanya sama: Bapak kan bukan satu keluarga. Demikian pula ibu, anak. Tak berani pula ia pake perumpamaan itu. Skip tambah bingung.
Karena bingung, alih-alih mendakwahkan Trinitas kepada Muhammad, ia malah bertanya kepadanya:
“Kalau Tuhan anda gimana sih? Ada berapa?”
Muhammad menjawab dengan mengutip ayat al-Qur’an, surah al-ikhlas:
“Katakanlah: Allah itu satu. Allah yang maha mulia. Dia tidak beranak dan bukan anak siapa pun. Dan tidak ada satu pun yang menyerupainya.”
Skip tertegun. Begitu sederhana. Begitu tegas. Begitu jelas. Begitu terang: satu ya satu. Tidak menyerupai segala ciptannya, apa pun itu.
Lagi pula, bukankah  itu yang sebetulnya yang dikhabarkan injil? Tuhan itu satu. Tidak terkena sifat nisbi makhluk: punya anak dan orangtua. Tapi bagaimana ceritanya bisa jadi tiga?
Makin hari, Skip makin tertarik kepada ketegasan dan kejelasan al-Qur’an. Kini posisinya sudah terbalik. Skip bukan mendakwahkan Kristen kepada Muhammad, tapi belajar al-Qur’an dan al-Islam kepadanya.
Dan yang pindah perhatian ini bukan hanya dirinya, tapi juga si pendeta Katolik. Makin sering sang pendeta menemui Muhammad dan pergi bareng.  Muhammad sering pergi ke Mesjid yang ada di kota itu untuk shalat berjama’ah atau I’tikaf, kebetulan saat itu bulan Ramadhan.  Peter sering ikut. Tentu saja ini membuat Skip penasaran. Suatu saat, ia bertanya kepada si pendeta:
“Sembahyang mereka bagaimana?” tanya Skip.
“Biasa saja. Mereka bediri khidmat. Membungkuk, menempelkan dahi ke lantai seperti pendeta Katolik, duduk, lalu menengok  ke kiri dan kekanan. Setelah itu mereka duduk bersila, membaca doa-doa dalam bahasa Arab. Suasananya sangat damai dan tentram,” jawab si Pendeta.
***
Suatu senja, setelah berbincang bertiga, Peter Jacobs dan Muhammad pamit untuk pergi beberapa jam. Setelah larut, mereka belum kembali. Skip mulai khawatir.
Akhirnya Muhammad muncul juga. Di temani seseorang berpeci putih dan bergamis. Dahi Skip mengernyit, menyidik siapa orang itu, ternyata si pendeta.
Skip kaget bukan alang kepalang: “Peter! Kau jadi Muslim?” Skip setengah berteriak.
Peter menjawab: “Asyhadu al-laa ilaahi illallah. Wa asyhadu anna Muhammad ar-rasuulullah
Skip terduduk. Tak tau persis apa yang dirasakan. Ia ingin bertanya banyak kepada Peter, tapi dia sudah tertidur di tempat duduknya.
Dalam perasaan dan pikiran tak menentu, Skip berjalan mondar-mandir,  masuk ke kamar dan bergumam kepada istrinya: “Ini gimana ceritanya, kok pendeta Katolik masuk Islam..”
Dan komentar sang istri sangat menghentakkan jantungnya: “Pa, aku ingin cerai. Setelah semua pembicaraan ini, injil, qur’an, Islam, aku pikir kita harus berpisah.”
Skip terkejut bukan alang kepalang: “Hey?! Ada apa ini? Aku hanya cerita kok pendeta masuk Islam. Bukan aku yang masuk Islam. Tak mungkin itu! Tidak ada masalah dengan kita!” sergah Skip.
“Kita jelas ada masalah,” jawab istrinya. “Muhammad bilang bahwa perempuan Muslim tak bisa menikah dengan pria Kristen. Aku mau masuk Islam.”
Skip terhenyak untuk kesekian kalinya. Terdiam. Cukup lama. Tiba-tiba wajahnya berubah girang dan berkata: “Dengar Ma, berita baiknya adalah, aku pun ingin masuk Islam!”
“Gimana Mama mau percaya? Hanya beberapa detik lalu Papa bilang tak mungkin masuk Islam,” kata istrinya.
***
Skip pun berjalan lunglai ke luar rumah, tak tau mau kemana. Akhirnya ia menemui Muhammad.
“Dengar kawan,” katanya. “Kali ini aku tak akan bicara apa-apa. Aku hanya ingin mendengar. Ceritakanlah padaku segala sesuatu tentang Islam, al-Qur’an, Nabi Muhammad..” pinta Skip.
Mereka pun berjalan berdua, cukup jauh, ‘hanya’ untuk mengisi suntuk. Sampai lewat pagi buta dan fajar muncul, baru keduanya berpisah, karena Muhammad harus bershalat subuh.
Skip tak segera masuk rumah; berjalan mondar-mandir dulu ke halaman depan dan belakang. Semua omongan Muhammad masih tinggal di kepalanya, dan entah dari mana, ada semacam sikap kepasrahan, keterbukaan, kejujuran, terhadap apa yang disampaikan teman Mesirnya itu. Namun jauh lebih dari itu adalah, kepasrahan kepada pencipta dan penguasa segala makhluk, rongga hatinya seolah terus menganga menunggu tumpahan cahaya. Dan kini, cahaya itu mulai tampak mendekat bersama fajar dan kilasan lembayung dini hari.
Ia menemukan sebuah papan di pinggir rumah. Lalu papan itu ia hamparkan di tanah. Kemudian Skip menempelkan dahinya di situ, meniru gerakan sujud orang Islam, mengarah ke kiblat.
Dalam kepenatan pikiran, ia merundukkan nalar dan kalbunya dalam sujud itu. Mulutnya bergumam. Hanya satu kalimat: “Ya Tuhan, bimbinglah aku.”
Hanya satu kalimat itu.
***
Setelah beberapa lama ia menumpukan dahinya – bagian jasad yang mewakili kejumawaan manusia – di tanah; sejajar dengan lutut dan telapak kaki; ia pun bangun dan berdiri. Seketika itu juga kehendak nuraninya menyeruak; keputusan yang datang tiba-tiba.
Skip kemudian menemui Muhammad, memintanya bersaksi bahwa Tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya.
Muhammad membimbingnya dalam bahasa Arab: “Asyhadu an-laa ilaahi illallah. Wa asyhadu anna Muhammad ar-rasuulullah.”
Segera istrinya menyusul mengucapkan syahadat.  Tak sampai sepekan, ayahandanya juga masuk Islam. Skip memaklumkan namanya sebagai Yusuf Estes.
Semua para pengkhabar injil itu kini telah jadi Muslim.
Catatan:
Tulisan saya di atas tidak mencakup aspek lain yang sebetulnya penting dalam proses ketertarikan para pengkhabar injil itu kepada Islam.  Ke-tak-mencakup-an itu semata-mata karena kepentingan penulisan saja, supaya lebih terfokus dan efisien.
Catatan ini saya khususkan untuk aspek yang tak sempat tertuliskan itu. Begini:
Memang, pusat kepenesaranan dan ketertarikan para pengkhabar injil itu tertuju kepada kelugasan, kesederhanaan dan kejelasan al-Qur’an. Tapi itu bukan satu-satunya daya tarik. Aspek lainnya adalah: pribadi Muhammad si tamu Mesir itu.
Seperti diceritakan Yusuf Estes [sebelumnya Skip Estes], Muhammad tak suka berdebat. Pengkhabaran Yusuf Estes yang terus menerus dan ‘menantang’ kepadanya, hanya sesekali saja dia tanggapi. Itu pun lebih banyak dalam bentuk pertanyaan.
Suatu saat, Yusuf dan Muhammad sedang melayani para pembeli di toko alat musik Edward Joseph. Setiap memberikan barang kepada pembeli, Muhammad selalu mengambil dari tumpukkan barang di belakang pajangan, yang memang lebih baru dan bagus.
Yusuf menegur: “Kasih barang yang di tumpukkan depan. Jadi barang yang sudah agak lama cepat terjual.”
Muhammad menjawab: “Maaf kawan, kami selalu memberikan barang yang terbaik untuk pembeli.”
Selain itu, Muhammad tak peran ngomelin pembeli di belakang. Adalah umum di kalangan para penjual, bermuka manis dan berkata ramah kepada pembeli, termasuk pembeli yang cerewet atau nyebelin. Begitu pembeli berlalu, si penjual ngomong kepada temannya: “Pembeli bodoh, sombong, belagu…”
Muhammad tak pernah. Dan ini membuat Yusuf terpesona.
Catatan ini penting untuk menjelaskan bahwa keunggulan Islam sangat terbantu – bahkan dalam beberapa hal ditentukan – oleh pribadi Muslim. Dakwah Islam tak akan efektif bila pribadi para pendakwahnya tak menunjukkan kebersahajaan, kesederhanaan, kerendahatian, seperti yang diajarkan Islam melalui nabi Muhammad SAW.
[Berlanjut]
Kepastoran Yusuf Estes sebelum memeluk Islam menjadikannya sosok unik. Di satu sisi ia menguasai injil dan berbagai persoalannya, di sisi lain pemahamannya terhadap al-Qur’an berlangsung sangat cepat karena kitab itu menyediakan jawab-jawab yang selama ini ia cari. Ia segera belajar bahasa Arab dan menguasainya secara cepat pula.
Beberapa bulan setelah menjadi Muslim, seorang rekan pendeta mengundangnya ke gereja setempat untuk menjelaskan mengapa ia menjadi Muslim. Yusuf tampil di mimbar dengan penuturan yang sangat jelas, mudah, mengesankan. Penjelasannya tentang injil dan al-Qur’an sangat logis dan memuaskan akal.
Setelah turun mimbar, seorang anggota jama’ah perempuan menghampirinya; bertanya padanya bagaimana cara masuk Islam. Yusuf langsung membimbingnya seketika itu juga; di dalam gereja; perempuan itu mengucapkan dua kalimah syahadat.
“Taukah anda siapa perempuan muda itu?” kata Yusuf suatu saat. “Dia adalah anak pendeta yang mengudang saya. Anda bisa bayangkan perasaan sang ayah. Dia mengundang saya, maksudnya untuk bertobat dan kembali kepada Kristen, malah anaknya ikut saya.”
“Itu pasti karena kehendak Allah. Tapi juga karena saya tidak menyerang, menghakimi Kristen dan injil. Saya hanya menjelaskan,” tambahnya.
Tak lama setelah kejadian itu ia diundang lagi oleh pendeta yang sama. Ke gereja yang sama. Yusuf bercerita lagi tentang injil dan al-Qur’an, Trinitas, Tauhid dan apa itu Islam. Setelah turun mimbar, kali ini bukan perempuan muda yang menghampirinya, tapi orang sebayanya. Siapa? Bapak si perempuan itu. Dia pun menyatakan diri ingin menjadi Muslim.
Singkat cerita, ia menjadi International Speaker of Islam; mendirikan Islamic Missionary Work. Ia menjadi salah satu tokoh dalam United Nations World Peace Conference for Religious Leaders [Konferensi Perdamaian Dunia  untuk Para Pemimpin Agama] di Washington, tahun 2000.
Tahun ini [2012], ia pun menjadi delegasi Dubai International Peace Convention, di mana ia jadi pusat perhatian para delegasi lain karena kisah pribadinya yang menarik, penguasannya terhadap materi, dan cara penyampainnya yang khas.
Stasiun radio, teve-nya tetap berjalan, tapi kini isinya tentang Islam. Nama acaranya, ‘The Deen Show’, kian hari kian popular.
Yusuf punya ratusan situs dakwah. Di sini hanya disebut tiga saja: Islamtomorrow.com, Islamyesterday.com, Islamalways.com,  yang menjadi sumber informasi tentang Islam bagi mereka yang ingin tau tentang Islam. Pengaruhnya di kalangan atas sangat kentara, sehingga mereka yang mengikut jejaknya jadi muallaf adalah para pesohor: bintang musik rok, artis film, ilmuwan dan politisi ulung Amerika.
Terakhir, ia mendirikan satu-satunya saluran TV Islam Amerika bernama Guide US TV. Pilihan nama itu benar-benar cerdas, karena artinya bisa dua: ‘bimbinglah kami’ dan ‘bimbinglah Amerika Serikat’. Dua-duanya tak salah.
Hampir setiap pengajian Yusuf Estes ditutup dengan pengucapan syahadat beberapa jama’ah non-Mulsim yang memutuskan memeluk Islam. Makin hari para pengucap syahadat itu makin banyak saja. “Tadinya puluhan orang Amerika masuk Islam setiap bulan. Kamudian ratusan. Sekarang ribuan,” katanya.
Jika hari ini Islam di Amerika Serikat dinyatakan sebagai agama yang paling cepat berkembang, persis di tengah proses itu adalah Yusuf Estes.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar