TUGAS YANG TERLUPAKAN DAN PALING SULIT YAITU BERDAKWAH DAN ISTIQAMAH
Tampilkan postingan dengan label Wanita Muslimah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Wanita Muslimah. Tampilkan semua postingan

Jumat, 23 Januari 2015

Galau, Dari Sudut Pandang Psikologi


Galau, sudah tidak asing lagi didengar oleh kalangan remaja hingga dewasa awal. Bila diperhatikan, tidak jarang kita menemui status facebook atau twitter yang berisi kegalauan dari pemilik akun. Biasanya mereka menunjukkan kegalauan dengan status mengeluh, menunjukkan diri sedang resah, bingung, dan pikiran kacau. Bagaimana sebenarnya galau dilihat dari sisi psikologi? Apakah ini termasuk gangguan atau tidak?
Galau dalam KBBI memiliki persamaan kata dengan kacau pikiran, bimbang, bingung, cemas dan gelisah. Kata galau akan lebih tepat bila disebut bimbang, namun pengertiannya lebih pada arah bentuk kecemasan seseorang.
Kecemasan adalah perasaan tak nyaman berupa rasa gelisah, takut, atau khawatir yang merupakan manifestasi dari faktor psikologis dan fisiologis. Kecemasan dalam kadar normal merupakan reaksi atas stress yang muncul guna membantu seseorang dalam merespon situasi yang sulit.
Kecemasan dapat dimasukkan dalam teori psikoanalisis. Freud mengatakan kecemasan berkembang dari konflik antara sistem id, ego dan superego tentang sistem kontrol atas energi psikis yang ada.
  • Kecemasan realita adalah rasa takut akan bahaya yang datang dari dunia luar dan derajat kecemasan semacam itu sangat tergantung kepada besarnya ancaman.
  • Kecemasan neurotik adalah rasa takut bila instink atau keinginan pribadi akan keluar jalur dan menyebabkan sesorang berbuat sesuatu yang tidak diinginkan.
  • Kecemasan moral adalah rasa takut terhadap hati nuraninya sendiri. Orang yang hati nuraninya cukup berkembang cenderung merasa bersalah apabila berbuat sesuatu yang bertentangan dengan norma moral.

Mengapa Jodohku Tak Kunjung Datang



Berkali-kali aku minta kepada Allah seorang pasangan, seseorang yang mampu menjadi pendampingku menjalani fase-fase lanjut dari perjalanan hidupku.
Aku tidak hanya meminta seorang pasangan, tetapi bahkan menjelaskan pula pasangan seperti apa yang aku inginkan. Aku ingin seseorang yang mantap amalnya, lemah lembut, loyal, pemaaf, penuh cinta, jujur, penuh damai, baik hati penuh pengertian, menyenangkan, hangat, cerdas, humoris, hafidz, pekerja keras dan dapat dipercaya.
Suatu malam dalam do’a, Allah berbicara dihatiku dan berkata,
“HambaKu, Aku tidak dapat memberikan apa yang engkau inginkan.”
Aku bertanya,
“Mengapa yaa Rabb?”
“Karena Aku adalah Tuhan yang adil dan Tuhan kebenaran dan semua yang Aku lakukan adalah adil dan benar.”
“Ya Rabb, aku tidak mengerti mengapa aku tidak bisa mendapatkan apa yang aku minta dari Mu.”
“Akan Aku jelaskan.. Adalah tidak adil dan benar bagiKu untuk mengabulkan permintaanmu karena Aku tidak dapat memberikan sesuatu yang bukan dirimu sendiri.”
“Adalah tidak adil bagiKu untuk memberikan seseorang yang penuh cinta kepadamu apabila kadang-kadang engkau masih penuh kebencian, atau seseorang yang baik hati apabila kadang engkau bisa kejam, seorang yang pemaaf sementara engkau masih menyimpan dendam, seseorang yang sensitif sedangkan engkau tidak begitu peka, seorang yang jujur sementara engkau sering bohong, sesorang yang loyal sementara engkau mudah berpaling, maupun seorang pekerja keras sementara engkau senang berleha-leha.”
“Daripada menghabiskan waktu untuk mencoba mencari seseorang atau berharap Aku akan memberikan seseorang dengan segala kualitas yang kau cari, lebih baik engkau mengijinkan Aku memanfaatkan waktu yang tersisa ini untuk membuatmu menjadi orang-orang seperti yang kau cari. Karena Aku tidak dapat memberikan kepadamu yang bukan dirimu.”
“Dan apabila engkau mengijinkan Aku bekerja dalam jiwa dan rohanimu dan membentuk hatimu sesuai keinginanKu, maka jika suatu saat nanti engkau mampu memformulasikan rasa sayang, rasa maaf, perhatian, rasa kasih, harapan, kepekaan dan tanggung jawab membentuk satu kesatuan dan apabila engkau melihat seseorang yang kusediakan bagimu, engkau akan mampu berkata seperti ketika Hawa Kuciptakan untuk menemani Adam:
“Dia adalah tulang dari tulang rusukku dan daging dari daging tubuhku, Bone of my bone” dan kau akan melihat pribadimu di dalam diri dia dan kalian berdua akan menjadi satu rangkaian dalam jalinan untuk bersama-sama berlayar menuju satu pelabuhan abadi”.
Sebagaimana telah Kusampaikan melalui kekasihKu:
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).”
(QS 24:26)

Hijab… Satu Keharusan, Bukan Pilihan !!!


Halo, Ustadzah.
Pertanyaan saya adalah tentang hijab. Pertanyaan yang umum adalah apakah hijab itu wajib atau tidak. Namun, pertanyaan saya sedikit lebih mendasar. Apa ayat Al Quran atau hadits shahih menunjukkan bahwa memakai penutup kepala (khimar) adalah wajib? Kutipan Al-Quran yang paling populer berkaitan dengan hijab, adalah An Nur ayat 31, yang tidak secara eksplisit mengatakan bahwa kepala harus ditutupi. Saya ingin tahu semua bahan ayat Al Quran dan hadits shahih (tidak dhaif, tidak dibuat-buat) di mana dijadikan dalil menutup kepala. Jika hukumnya penutup kepala (khimar) hanya interpretasi oleh para Ulama dari ayat Al Qur’an di atas, maka saya tidak merasa hal itu meyakinkan.
Untuk pemahaman saya, ayat Al Quran ini hanya meminta perempuan untuk berpakaian sopan, untuk menutupi dada mereka sepenuhnya, dan tidak menampilkan godaan apapun dengan cara itu. Jika ulama yang mengatakan bahwa menunjukkan rambut adalah godaan, lalu bagaimana wajah dan tangan? Jika itu adalah tolak ukur yang digunakan, maka tidak ada satu bagianpun dari seorang wanita boleh terlihat. Silahkan menjawab pertanyaan saya, karena banyak orang akan mendapat manfaat dari itu.
Wassalam.
Syakir.
Salam Syakir, Terima kasih atas pertanyaan Anda dan untuk menghubungi Ask About Islam.
Seperti yang Anda disarankan, diharapkan bahwa jawabannya akan memberi manfaat banyak orang Muslim dan non-Muslim yang mungkin memiliki beberapa kesalahpahaman tentang hijab.
Sebelum memberikan Anda bukti Quran dan hikmah di balik jilbab yang diamanatkan agama, mari kita mendefinisikan beberapa istilah bahasa Arab terkait dengan pertanyaan Anda: Islam, jilbab, dan khimar.
Kata Arab Memiliki Banyak Makna
Bahasa Arab adalah bahasa yang sangat kaya akan nuansa makna untuk setiap kata, terjemahan sering gagal untuk memberikan keadilan untuk ayat dalam Arab karena kurangnya kosa kata yang tepat. Akibatnya, perlu, ketika menangani isu-isu kontroversial, untuk melihat secara dekat arti dari kata-kata Arab yang digunakan dalam konteks aslinya. Mari kita mulai dari arti dari nama agama ini: Islam.
Arti dari Islam dan Bagaimana Muslim Memandang Aturan Islam
Islam berarti penyerahan total kepada Allah-dalam pikiran, hati, tubuh, dan jiwa-penerimaan total hukum dan aturan-Nya tanpa keraguan atau argumen, ketaatan total kepada-Nya dan Rasul-Nya, dan penolakan seluruh syirik (menyekutukan segala sesuatu dengan Allah) di semua bentuknya. Al Quran menyatakan yang artinya:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Al-Ahzab 33:36).
Seorang Muslim seharusnya tidak membantah perintah, aturan, atau hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya (Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam). Mereka tidak perlu bukti dari Allah untuk segala sesuatu yang Dia minta dari mereka. Ketaatan mereka adalah tanda dari iman sejati mereka. Selain itu, Islam adalah cara hidup yang lengkap yang harus sepenuhnya ditaati oleh para pengikutnya. Dengan demikian, umat Islam tidak seharusnya beribadah secara selektif, memilih aturan atau ibadah apapun yang menarik bagi mereka dan meninggalkan sisanya. Menyangkal aturan dasar Islam atau ibadah adalah dosa serius.
Arti dari Hijab
Hijab dalam bahasa Arab berarti “penghalang” atau “tabir” dan dengan demikian muncul dalam berbagai ayat-ayat Alquran, mengacu pada banyak hal selain penutup kepala wanita itu. Sebagai contoh:  Allah Subhanahu wa Ta’alaberfirman dalam Quran bahwa Dia hanya berbicara kepada manusia dari belakang hijab. Al-Qur’an mengatakan apa artinya:
“Dan tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir.” (Asy Syur: 51).
Perawan Maria beribadah di balik hijab:
Maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka;” (Maryam 19:17).
Dan, pada Hari Kiamat akan ada hijab antara penduduk surga dan penduduk neraka:
“Dan di antara mereka akan menjadi [penghalang] tabir.” (Al-Aaraf 7:51).
Dalam semua ayat-ayat ini, kata hijab digunakan untuk berarti hal yang berbeda. Dalam keterangan ini, mari kita merenungkan logika jilbab.
Al Quran mengajarkan kita untuk melihat di sekitar kita dengan mata dan pikiran terbuka, untuk berpikir, merasionalisasi, dan mencapai kesimpulan logis. Jika kita melihat di alam semesta, dari atom kecil untuk benda-benda angkasa yang besar, kita tidak melihat bagaimana segala sesuatu yang penting atau berharga dilindungi dan tersembunyi dengan penutup? Pikirkan kulit bagi tubuh manusia, rahim untuk bayi, dinding plasma ke sel, kulit ke batang pohon, cangkang telur, bahkan seluruh planet tempat tinggal kita adalah menikmati perlindungan dari “hijab”-yang kita sebut atmosfer-terhadap bahaya asteroid dan sinar kosmik yang berbahaya. Pikirkan bagaimana planet lain-Mars misalnya-dirampas “hijab” mereka dan telah menderita banyak kerugian.
Arti dari Khimar dalam bahasa Arab
Kata khimar dalam bahasa Arab berarti “penutup kepala” dan itu juga berlaku untuk banyak hal selain penutup kepala perempuan. Sebagai contoh, itu berlaku ke atas meliputi pot atau wadah, untuk setiap penutup kepala yang dikenakan oleh orang-orang bahkan laki-laki. Khususnya, di situlah minuman keras dan narkotika mendapat nama Arab khamr mereka karena mereka “menutupi” penalaran ketika seseorang mabuk.
Khimar adalah kata yang digunakan untuk merumuskan penutup kepala perempuan Muslim dalam ayat yang dimaksud. Al-Qur’an mengatakan:
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka,…” (An Nur : 31).
Arti jelas bagi pembaca adalah bahwa di hadapan pria yang bukan mahram seorang wanita Muslim, ia harus mengenakan penutup kepala yang memanjang , cukup panjang untuk menutupi dada, tidak hanya dada saja yang ditutupi. Ayat lain dalam Surat Al-Ahzab menjelaskan hal ini lebih lanjut. Al-Qur’an mengatakan:
Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (Al-Ahzab 33:59).
Kata Arab yang digunakan di sini untuk menunjukkan penutup adalah jamak dari jilbab. Ibnu Taimiyah menyatakan dalam Majmu `Al-Fatawa 22:110-111: “Jilbab adalah penutup yang cukup besar untuk menutupi kepala wanita itu dan seluruh tubuhnya yang tergantung dari atas kepalanya.”
Selanjutnya, Al-Quran memerintahkan shahabat Nabi dalam kata-kata itu:
Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir.” (Al-Ahzab 33:53).
Yang dimaksud dengan hijab dalam ayat ini adalah benda yang menyembunyikan seorang wanita seperti dinding, pintu, atau pakaian. Ketetapan ayat, meskipun itu terungkap mengenai istri-istri Nabi (Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam), umumnya meliputi semua wanita Muslim. Hal ini karena hikmah di balik ketetapan itu ditentukan dalam sisa ayat tersebut. Allah berfirman:
“Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (Al-Ahzab 33:53).
Kebijaksanaan ini adalah umum di antara semua pria dan wanita. Oleh karena itu kebijaksanaan umum juga menunjukkan aplikasi umum dari aturan seperti nampak dalam surah Al Ahzab, ayat 59 di atas.
Islam Mengangkat Perempuan, Memberi Mereka Kesetaraan, dan Mengharapkan Mereka Untuk Mempertahankan Status Mereka.
Status perempuan dalam Islam sering menjadi sasaran serangan di media sekuler. Jilbab atau busana Muslim dikutip oleh banyak orang sebagai contoh dari “penaklukan” perempuan di bawah hukum Islam. Namun, kebenaran adalah bahwa 1400 tahun yang lalu, Islam mengakui hak-hak perempuan dengan cara yang memberikan mereka perlindungan maksimal dan hormat juga, kombinasi sistem lain gagal untuk menawarkan hal itu. Islam memberikan mereka kebebasan berekspresi, partisipasi politik, bisnis dan hak-hak keuangan, meminta seluruh masyarakat untuk mengangkat mereka di penghargaan yang tinggi dan memerintahkan mereka menghormatinya sebagai sebagai ibu, saudara perempuan, istri, dan anak-anak perempuan.
Dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala pertama menyebutkan menahan pandangan bagi pria sebelum menahan pandangan dan mengenakan hijab bagi perempuan. Quran mengajarkan kepada kita:
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”.” (An-Nur 24:30).
Saat seorang pria memandang perempuan dengan kurang ajar atau pemikiran malu dalam pikiran, ia harus menundukkan pandangannya. Ayat berikutnya dari Surat An-Nur adalah salah satu perintah bagi perempuan beriman untuk mengenakan hijab.
Islam mengharapkan perempuan untuk mempertahankan status mereka dengan mengikuti aturan-aturan Allah yang dirancang untuk kebaikan mereka. Hijab adalah salah satu aturan tersebut.
Enam Kriteria Hijab
Menurut Al-Quran dan Sunnah, pada dasarnya ada enam kriteria untuk hijab:
  1. Adalah wajib bagi laki-laki untuk menutup setidaknya dari pusar ke lutut. Bagi wanita, itu adalah wajib untuk menutupi tubuh lengkap, kecuali wajah dan tangan sampai ke pergelangan tangan. Jika mereka ingin, mereka dapat menutupi bahkan bagian-bagian tubuh tersebut. Beberapa ulama bersikeras bahwa wajah dan tangan adalah bagian yang wajib hijab, terutama jika godaan (fitnah) dikhawatirkan dalam waktu dan tempat di mana aturan Islam tidak diterapkan atau jika keamanan adalah hal yang langka.
  2. Pakaian harus longgar dan tidak harus menggambarkan bentuk tubuh.
  3. Pakaian tidak harus transparan atau tembus.
  4. Pakaian seharusnya tidak begitu glamor untuk menarik perhatian (suhrah).
  5. Pakaian harus tidak menyerupai orang-orang dari lawan jenis.
  6. Pakaian tidak boleh mirip dengan orang-orang kafir, yaitu pakaian yang mengidentifikasi atau simbol agama orang-orang kafir ‘.
Lima kriteria yang terakhir (no. 2 hingga 6) adalah sama untuk pria dan wanita
Hijab Termasuk Perilaku
Hijab lengkap, selain enam kriteria pakaian di atas, juga mencakup akhlaq, perilaku, sikap, dan niat dari individu. Seseorang hanya memenuhi kriteria hijab dari pakaian adalah melihat hijab dalam arti yang terbatas. Hijab pakaian harus disertai dengan hijab dari mata, hati, pikiran, dan niat. Ini juga mencakup cara seseorang berjalan, berbicara, dan berperilaku. Oleh karena itu, penggunaan hijab secara hipokrit (munafik) bukanlah contoh yang baik dari perilaku Muslim.
Hijab Mencegah Pelecehan
Al-Qur’an mengatakan bahwa hijab memungkinkan perempuan untuk diakui sebagai perempuan yang sederhana dan ini juga akan melindungi mereka dari yang diganggu. Misalkan ada berandalan yang sedang menunggu untuk menggoda seorang gadis. Siapa yang akan dia goda? Seorang gadis yang mengenakan hijab, atau gadis yang mengenakan rok mini atau celana pendek? Hijab tidak menurunkan seorang wanita tetapi mengangkat seorang wanita dan melindungi kesopanan dan kesuciannya.
Menanggalkan Kerudung Tidak Akan Mengangkat Wanita
Liberalisasi wanita kebanyakan melalui eksploitasi tubuhnya, degradasi jiwanya, dan perampasan kehormatan dirinya. Masyarakat non-Muslim mengklaim telah mengangkat perempuan dengan memungkinkan mereka mengekspos tubuh mereka, tetapi sebaliknya, ini sebenarnya mendegradasi mereka untuk sekadar menjadi alat di tangan para pencari kesenangan dan penjual seks, tersembunyi di balik layar warna-warni “seni” dan “budaya.”
Wanita Muslim harus menyadari fakta ini. Mereka harus menyadari bahwa hijab melindungi mereka dari pandangan jahat dan keinginan jahat dari orang-orang yang hatinya sakit, seperti yang dijelaskan dalam Quran. Wanita Muslim harus mematuhi aturan-aturan Allah dan tidak terbujuk atau tergoda oleh media yang menentang hijab atau melecehkan maknanya, sesungguhnya orang-orang yang menyebarkan ide-ide ini hanya berkeinginan jahat untuknya. Al-Quran memperingatkan dengan mengatakan:
“Dan Allah hendak menerima tobatmu, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran).” (An-Nisaa 4:27).
Saya harap ini menjawab pertanyaan Anda dan memenuhi permintaan Anda. Terima kasih dan mohon tetap berhubungan.
Salam.
Sahar El Nadi

Menceraikan Istri yang Tidak Mau Berjilbab


Adalah kewajiban bagi wanita Muslim untuk mengenakan jilbab (yaitu, menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan tangan, dan kaki menurut beberapa madzhab fiqih).
Hal ini secara bulat telah disepakati di kalangan ulama Muslim bahwa tidak halal bagi seorang wanita Muslim untuk memperlihatkan setiap bagian dari tubuhnya selain wajah dan tangan (dan kaki menurut beberapa madzhab fiqih). Oleh karena itu, haram bagi seorang wanita untuk memperlihatkan rambutnya, atau lengan, atau dada atau kaki kepada laki-laki non-mahram.Mengenakan pakaian yang mengungkapkan bagian tubuh seorang wanita adalah benar-benar dilarang agama.
Seorang suami Muslim berkewajiban menasihati istrinya untuk mengenakan jilbab. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,   Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”(At-Tahrim: 6)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman: “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan salat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kami lah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (Thaha: 132)
Seorang istri Muslimah harus mematuhi suami mereka dan mengenakan jilbab. Jika seorang wanita tidak mematuhi suaminya, dalam hal ini suami harus mengambil keputusan yang serius mengenai masalah ini jika mereka masih di awal pernikahan mereka.
Ketika seorang pria Muslim menyarankan pada seorang wanita yang tidak mengenakan jilbab, ia harus menetapkan bahwa dia harus memakainya segera setelah mereka menikah. [Sebagai contoh,] dia bisa mengatakan padanya, “Saya adalah seorang Muslim yang berkomitmen. Aku takut Allah Subhanahu wa Ta’ala. Saya tidak ingin tidak mematuhi Dia Yang Maha Tinggi. Yang saya inginkan adalah untuk menyenangkan-Nya. Karena itu, saya tidak bisa menerima bahwa istri saya menjadi mutabarrajah (perempuan yang tabarruj) atau menampilkan pesonanya di depan umum tanpa berkomitmen pada dirinya untuk berpakaian Islam yang benar.”
Dengan memperjelas sikapnya dalam hal itu dari awal, tunangannya akan diwajibkan untuk mengenakan jilbab segera setelah mereka menikah.
Perlu dicatat bahwa seorang wanita Muslimah pada prinsipnya wajib memakai jilbab, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkannya untuk melakukannya. Suaminya memerintahkan dia untuk memakainya adalah semacam menekankan kewajiban itu.
Seorang pria mungkin menikahi seorang wanita yang tidak memakai jilbab sebelum menikah, tanpa berdiskusi dengannya akan pentingnya memakai jilbab, karena dia (suami) belum menjadi pengikut yang kuat dari ajaran Islam. Kemudian, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala membimbingnya ke jalan yang benar, ia ingin istrinya untuk bertaubat bersama dia dan mengenakan jilbab. Jika istri ragu-ragu dalam hal itu, ia mencoba lembut lagi dan lagi sampai ia bisa meyakinkannya, sehingga dia mendapat hidayah ke jalan yang benar juga.
Namun, jika istri tidak taat kepada-Nya dan dia telah kehilangan semua harapan meyakinkan dirinya mengenakan jilbab, ia harus, lebih tepatnya, menceraikannya jika mereka masih di awal kehidupan perkawinan mereka (dan belum memiliki anak). Kehidupannya tidak akan tenteram antara suami yang teguh dalam iman dan seorang istri yang tidak taat kepada-Nya dan tidak peduli untuk menaati Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Juga, jika seorang suami mungkin kembali ke jalan yang kebenaran setelah ia telah tinggal dengan istri yang tidak berkomitmen atas dirinya pada pakaian yang tepat untuk wanita selama bertahun-tahun dan telah melahirkan anak-anak darinya. Jika suami kemudian ingin dia mengenakan jilbab, suami mencoba meyakinkan dirinya dengan lembut tentang masalah ini. Namun, jika dia bersikeras tidak mengenakan jilbab, ia tidak menceraikannya sehingga keluarga mereka tidak hancur. Sebaliknya, ia harus bersabar dan mencoba lagi dan lagi untuk menasehatinya.
Wallahu a’lam bish shawab.
Syaikh Prof. DR. Yusuf Al Qaradhawi

Wanita yang disunnahkan Bekerja


Dalam buku Kebebasan Wanita, dijelaskan bahwa wanita disunnahkan melakukan kegiatan profesional dengan syarat sejalan dengan tanggung jawab keluarga dan berpedoman pada tujuan-tujuan berikut ini.
Tujuan pertama, membantu suami, ayah, atau saudara yang miskin. Yakni seorang perempuan memberikan bantuan finansial terhadap anggota keluarganya dengan tujuan meringankan beban atas kondisi pemenuhan kebutuhan mereka. Perlu diingat bahwa pemberian nafkah merupakan kewajiban seorang laki-laki.
Dari Zainab istri Abdullah, ia berkata, “Saya berada dalam masjid, lalu saya melihat Nabi. Kemudian beliau bersabda, ‘Bersedekahlah, walaupun dengan perhiasanmu!’ Saya (Zainab) biasa memberi belanja (natkah) untuk Abdullah (suaminya) dan untuk anak yatim yang dipeliharanya. Saya berkata kepada Abdullah, ‘Cobalah tanyakan kepada Rasulullah, apakah cukup bagiku apa yang saya belanjakan untuk engkau dan yatim yang saya pelihara?’ Abdullah berkata, ‘Engkau sendirilah yang bertanya kepada beliau.’ Kemudian saya berangkat kepada Nabi. Saya mendapatkan wanita Anshar di depan pintu yang keperluannya seperti keperluanku. Kemudian Bilal lewat di muka bumi, lalu kami berkata, ‘Tanyakan kepada Nabi, apakah cukup bagiku dengan memberi nafkah kepada suamiku dan anak-anak yatimku dalam pemeliharaanku?’ Kami berkata, ‘Jangan engkau beritahukan siapa kami.’ Maka, Bilal menemui Nabi dan menanyakan kepada beliau, lalu beliau bertanya, ‘Siapakah mereka itu?’ Bilal menjawab, ‘Zainab.’ Beliau bertanya lagi, ‘Zainab yang mana?’ Bilal menjawab, ‘Istri Abdullah.’ Lalu, beliau bersabda, ‘Ya, cukup. Ia mendapat dua pahala, yaitu pahala kerabat dan pahala sedekah.'” (HR Bukhari)
Dalam kitab Fathul Bari, disebutkan bahwa ulama menggolongkan sedekah dalam hadits ini sebagai sedekah wajib. Sementara, Al Qadhi Iyadh mengatakan bahwa sedekah tersebut merupakan sedekah sukarela. Pendapat ini didukung oleh Imam An Nawawi dan Ath Thahawi. Dengan seorang isteri memberikan harta yang diperoleh melalui pekerjaannya, maka kehidupan suami isteri akan semakin penuh dengan kasih sayang dan keberkahan.
Kedua, mewujudkan kepentingan masyarakat Muslim. Prof. Dr. Abdul Halim Abu Syuqqah mengatakan, “Demikian juga halnya dengan wanita-wanita yang dikarunia Allah bakat yang besar dan kemampuan yang tinggi dalam bertutur kata. Dari mulutnya akan meluncur kata-kata indah, nasihat-nasihat mengesankan, dan keterangan yang jelas dalam bentuk bait-bait syair yang mempesonakan semuanya, tulisan yang memikat, maupun wanita yang memiliki otak yang brilian. Dengan otak tersebut dia dapat menyerap bebagai macam ilmu pengetahuan untuk kemudian dikembangkan dan didayagunakan. Wanita-wanita semacam ini patut mempertahankan dan mengembangkan bakat mereka hingga mereka mampu membayarkan ‘zakat bakat’ tersebut. Apalagi mungkin wanita-wanita seperti itu jauh lebih hebat daripada kaum laki-laki dalam bidang pekerjaan mereka.”
Ketiga, berkorban pada jalan yang baik. Maksudnya adalah menggunakan harta yang diperoleh dari profesinya itu untuk melakukan hal-hal yang diwajibkan ataupun disunanahkan oleh agama. Sehingga dengan hartanya itu ia akan memeperolah kebaikan dan pahala dari Allah atas kebaikan yang dilakukannya.
Dari Aisyah, Ummul Mukminin, dia berkata, “… Yang paling panjang tangannya diantara kami adalah Zainab (binti Jahsy), sebab berusaha dengan tangannya sendiri dan bersedekah.” (HR Muslim)
Dari Aisyah, dia berkata, “Aku belum pernah sama sekali melihat wanita yang lebih baik dalam soal agama daripada Zainab (binti Jahsy), paling takwa kepada Allah, paling benar dalam berbicara, paling suka menyambung silaturahim, serta paling suka mengorbanka dirinya untuk pekerjaan yang dengan pekerjaan itu dia bisa bersedekah dan mendekatkan diri kepada Allah.” (HR Muslim)
Dari Jabir bin Abdullah, dia berkata, “Bibiku dicerai. Pada suatu hari, dia ingin memetik buah kurmanya, lalu seorang laki-laki menghardiknya agar jangan keluar rumah. Lantas bibiku menemui Rasulullah untuk menanyakan masalah ini. Rasulullah berkata, ‘Tentu, petiklah buah kurmamu. Barangkali, dengan itu kamu akan bisa bersedekah atau akan melakukan sesuatu yang baik.’” (HR Muslim)
Priyo Kuncoro Jati

Hukum Perempuan Tidak Menutup Aurat yang Masuk ke Masjid


Bismillah, alhamdulillah, shalawat dan salam kita sampaikan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaih wa sallam.
Sesungguhnya masjid adalah rumah Allah ta’ala di atas bumi. Allah ta’ala berfirman, “Dan masjid-masjid itu adalah milik Allah, janganlah kalian bedoa ke selain Allah” (Al-Jin 18). Dalam hadits qudsi, Allah ta’ala berfirman, “Sesungguhnya rumah-rumahku di atas bumi adalah masjid-masjid, dan para pengunjungnya adalah yang meramaikannya.”
Seorang pengunjung sudah seharusnya menghormati siapa yang dikunjunginya, dan memberikan haknya berupa penghormatan dan sejenisnya. Dan ini terjadi antara manusia, lalu bagaimana dengan Tuhannya manusia? Tentu jauh lebih utama!
Allah ta’ala mewajibkan seorang wanita untuk berpakaian tertutup karena seluruh ulama fiqih bersepakat bahwa seluruh tubuh wanita merdeka (bukan budak) itu aurat kecuali muka dan telapak tangan.
Maka ketika seorang wanita ingin memasuki masjid, dia diharuskan untuk beradab layaknya adab orang yang ingin bermunajat, berdoa kepada Allah ta’ala. Dan adab munajat kepada Allah itu harus menurut aurat.

Nasihat Syaikh Nawawi Al Batani untuk Wanita Modern


Dalam Uqud Al-Lujjain Bi Bayan Huquq Az-Zaujain, Syaikh Nawawi Al Bantani berkata, “Ketahuilah, di zaman sekarang ini banyak wanita yang menampakkan perhiasannya. Mereka berhias diri dan bersolek serta memperlihatkan kecantikannya kepada para lelaki. Mereka hampir tidak memiliki rasa malu. Mereka berjalan di tengah sekumpulan laki-laki. Itulah yang disebut tabarruj, sebagaimana yang dikatakan Mujahid.”
“Wanita-wanita sekarang berjalan dengan bergaya lenggak lenggok, seperti yang dikemukakan Imam Mujahid dan Qatadah ketika menjelaskan pengertian tabarruj. Mereka secara terang-terangan berjalan di hadapan para laki-laki di pasar dan masjid, di tengah barisan shalat, terutama di siang hari. Di malam hari mereka mendekati tempat-tempat yang terang agar dapat menampakkan perhiasan pada banyak orang.”
Kemudian Syaikh berkata, “Wanita itu sebaiknya tidak keluar jika tidak ada keperluan yang amat penting. Jika ia keluar, sebaiknya memejamkan pandangannya terhadap laki-laki. Kami tidak mengatakan kalau muka laki-laki berstatus aurat bagi wanita, sebagaimana wajah wanita (aurat) bagi laki-laki. Akan tetapi wajah laki-laki bagi wanita bagaikan wajah anak kecil (amrad) yang tampan. Apabila tidak menimbulkan fitnah, maka tidak haram…”
“Sebaiknya, wanita benar-benar harus dijaga, utamanya pada zaman sekarang ini. Jangan sampai sembarang menjaga wanita. Suami hendaknya melarang isterinya keluar rumah, kecuali di waktu malam bersama mahramnya yang senasab atau lainnya, atau bersama wanita lain yang dapat dipercaya sekalipun wanita sahaya. Jadi, tidak cukup dengan budak, kalau tidak disertai wanita lain yang terpercaya.”
“Wanita tidak boleh keluar dari batas desa atau kota sekalipun bersama wanita banyak yang terpercaya atau mendapat izin suami. Namun suaminya harus ikut keluar, atau wanita itu disertai mahramnya. Oleh karena itu apa yang terjadi di zaman ini berupa keluarnya wanita di luar batas desa atau kota termasuk dosa besar yang wajib dicegah. Mereka harus dilarang keluar rumah.”
“Pada zaman sekarang ini, jika ada wanita yang keluar rumahnya, maka muncullah lelaki yang mengedipkan matanya sebagai kode, ada juga lelaki yang menyentuhnya dengan ujung-ujung jari, lalu ada lelaki yang berkata kotor yang tidak diridhai orang yang memiliki agama serta dibenci wanita shalehah.”
“Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Hajar mengatakan dalam Az-Zawajir fi Iqtirah Al-Kabair: Jika wanita terpaksa harus keluar rumah, semisal mengunjungi orangtuanya, maka ia diperbolehkan jika mendapat izin dari suaminya sepanjang tidak menampakkan perhiasannya kepada lelaki lain (baca: asing, bukan mahram) dan tidak berbusana bagus, memejamkan matanya ketika berjalan, dan tidak boleh memandang ke kanan dan ke kiri. Jika tidak demikian, maka ia termasuk wanita yang mendurhakai Allah, Rasul-Nya, dan suaminya.’”
Dalam Nihayah Az-Zain (hlm. 58), Syaikh menjelaskan aurat wanita. Katanya, “Wanita memiliki 4 aurat, yaitu:
Pertama, seluruh badannya kecuali wajah dan kedua telapak tangan dalam maupun luar. Itulah auratnya dalam shalat. Karenanya, mereka wajib menutupnya dalam shalat, meski kedua lengan, rambut, dan kedua telapak kaki.
Kedua, antara pusar hingga lutut adalah auratnya ketika dalam keadaan sendiri, di sisi laki-laki semahram, serta di sisi wanita mukminah.
Ketiga, seluruh badannya kecuali yang nampak saat bekerja keseharian. Itulah auratnya di hadapan wanita kafir.
Keempat, seluruh tubuhnya sampai pun kukunya. Itulah auratnya di hadapan lelaki asing (bukan mahram).
Sebab itu, bagi laki-laki diharamkan melihat sekecil apa pun dari itu semua. Bagi wanita wajib menutupinya dari laki-laki. Dan bagi kalangan remaja, hukumnya seperti laki-laki dewasa. Walinya wajib melarangnya memandang kepada wanita bukan mahram dan wanita wajib menutup diri dari kalangan remaja. Dan hukum yang semisal dengan wanita ialah anak kecil yang wajahnya tampan, khuntsa (orang yang kelaminnya masih dalam kemungkinan, apakah laki-laki atau wanita) statusnya seperti wanita dalam permasalhan-permasalahan yang telah diterangkan di atas.”
Nasehat di atas kiranya dapat dicerna dan diterima dengan lapang dada. Karena memang di zaman yang penuh dengan fitnah ini sudah sepantasnya bagi wanita untuk tidak mengumbar auratnya serta selalu mengenakan cadar jika keluar. Meski hukum asal wanita keluar rumah adalah haram, namun dalam keadaan terpaksa dan mendesak bisa berubah boleh selama memenuhi rambu-rambu syariat.
Nabi –shallalahu „alaihi wa sallam- pernah berkata, “Sepeninggalanku tidak ada fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki selain fitnahnya wanita.”
Beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- juga bersabda, “Wanita itu seluruhnya aurat. Jika ia keluar rumah, setan bergegas mendekatinya.”
Untuk lebih jelasnya, penulis persilakan pembaca menelaah Hirasah Al-Fadhilah karya Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid –rahimahullah-. Dalam kitab ini penulisnya telah berusaha menjabarkan panjang-lebar terkait kehormatan wanita yang wajib dipelihara. Jazahullah ‘anil Islam khaira.
Yang sangat disayangkan ialah, meski kitab ‘Uqud Al-Lujjain dan kitab-kitab lainnya yang ditulis Syaikh Nawawi banyak dikaji, terutama di pesantren tradisional, sedikit kita jumpai atau bahkan sama sekali tidak ada yang mempraktekkan dalam dunia nyata. Yang ada justru penolakkan dan pembelotan. Yang mana tidak sedikit dari kalangan mereka yang beramai-ramai malah melempar tuduhan teroris dan kaum garis keras kepada Ahlussunnah wal Jama‟ah yang banyak mempraktekkan syariat cadar ini.
Hanya kepada Allah kami mengadu segala permasalahan. Semoga shalawat beriringan salam tetap tercurahkan pada junjungan Nabi Muhammad, keluarga, shahabat, dan siapa saja yang dengan setia mengikuti ajaran-ajaran Islam secara benar.